Pada suatu malam, sang putri bersedih hati. Dia menutup telinganya dari bunyi jangkrik dan kunang-kunang yang bersenda gurau. Putri menutup mata sehingga ia tak melihat bintang dan bulan yang bersinar. Di pesisir pantai Pulau Alor, NTT, ia hanya melongo dalam pejamnya.
Seorang nelayan yang melihat keadaan putri merasa khawatir. “Wahai Putri, apakah gerangan yang membuatmu muram malam ini?”
Putri membuka matanya pelan-pelan. Matanya berkaca-kaca. “Kau tahu apa hal yang paling menyedihkan di dunia ini? Seumur hidupku, Ibunda Ratu tak pernah memarahiku. Tapi, hari ini beliau melakukannya kepadaku. Aku begitu sedih.”
“Apa yang menimbulkan sang Ratu murka kepadamu?” Putri menceritakan keluh kesahnya, “Tinggal di Alor yaitu suatu kenikmatan bagiku. Air maritim yang jernih, pasir yang putih, biota maritim yang beragam, ditambah bukit dan pegunungan terjal yang menambah pesona, serta keramahan seluruh rakyatku. Kau pun tahu betapa bahagianya saya dikelilingi tanah sebelah Timur Flores ini. Tetapi, Ibunda Ratu yang sedang sakit malah memarahiku. Menurut Ibunda Ratu, saya terlampau senang bermain dan lupa kewajibanku sebagai Putri di tanah ini.”
Putri menghela napas sejenak. “Aku menyayangi Alor, itulah sebabnya saya gemar berkeliling. Ibunda Ratu berpikir, saya hanya sedang main-main, padahal saya memperhatikan setiap sudut daerah ini dan memastikan tiada celah sedikit pun yang menimbulkan pulau rusak.”
Putri merapikan kain tenunan khas Alor, kawate, yang terjuntai di tubuhnya. Sambil mengusap air matanya, ia menyimak pesan tersirat nelayan muda itu.
“Jika berkenan engkau mendengarkanku, kembalilah ke istana dan temui Sang Ratu. Katakan padanya bahwa penyu hijau masih meletakkan telur-telurnya di dalam pasir Alor yang putih dan memesona. Kabarkan perihal terumbu karang dan ikan maritim yang masih bernapas bebas dalam birunya Alor. Ceritakan pula mengenai bukit yang hijau dan pegunungan terjal nan indah. Sampaikan juga salamku untuk Ratu, ceritakan saya nelayan yang masih sanggup bertahan hidup di tanah ini. Kami juga akan menjaga daerah ini sebagaimana engkau menjaganya dengan penuh sukacita.”
Sang putri sangat senang akan pesan tersirat itu, “Terima kasih nelayan muda.”
Putri pun bergegas kembali ke istana berbentuk limas dengan empat pilar berbingkai pohon asam. Putri tak sabar ingin menyatakan kepada Ibunda Ratu bahwa ia cinta tanah kelahiran dan ingin terus menjaga kelestarian lingkungannya.